Sabtu, Oktober 5, 2024
BerandaSosialMenepi Barokah di Syeikh Magribi atau Sunan Bangkalan

Menepi Barokah di Syeikh Magribi atau Sunan Bangkalan

BANGKALAN-Mencari keberkahan atau tawassul karomah orang terdahulu di Bhuju’ Syeikh Maghribi atau Raden Jakandar yang terletak di wilayah Ujung Piring, Sambilangan, Kabupaten Bangkalan.

Raden Jakandar memiliki beberapa banyak sebutan, yaitu Raja Jakandar, Sunan Bangkalan ada yang menyebut Sunan Malaka.

“Orang sekitar Bhuju’ tersebut mengenal Syeikh Maghribi,” kata Solihin juru kunci makam Sunan Bangkalan.

Masyarakat Madura umumnya menyebut makam tokoh agama dengan sebutan bhuju’, yang dalam bahasa Madura berarti orang yang sangat tua dan dituakan dalam silsilah keluarga.

Di wilayah Bangkalan terdapat beberapa bhuju’. Salah satunya Bhuju’ Raden Jakandar atau Syaid Maghribi atau biasa dikenal dengan Sunan Bangkalan.

Raja Jakandar atau yang biasa disebut dengan Raden Jakandar adalah salah satu tokoh yang berasal dari keturunan kerajaan Padjajaran, lebih tepatnya keturunan dari Patih Mundangwangi.

Istrinya bernama Dewi Nawangsari. Mereka memiliki dua putri yang bernama Dewi Hisah dan Dewi Hirah.
Dewi Hisah merupakan istri dari Sunan Bonang, sedangkan Dewi Hirah merupakan istri dari Sunan Gunung Jati.

Jadi, Raden Jakandar merupakan ayah mertua dari Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati.

“Tidak ada masyarakat yang mengetahui kapan Bhuju’ Raden Jakandar ditemukan dan mengapa bhuju’ itu bisa berada di tempat itu,” tegas Sholihin, salah satu juru kunci yang ditemui Moh Hosen.

Ia bercerita, awal penemuan makam itu termasuk salah satu aulia atau bhuju’ yaitu, ada warga yang tinggal di kampung yang bernama Mbah Munali.

Terdapat makam yang dipercayai masyarakat sekitar adalah makam Cangkrik atau pembantu dari Raden Jakandar bahasa maduranya Kabule’en yaitu Abdul Wahed.

Selain itu, di sekitar makan Raden Jakandar terdapat banyak makam yang sudah ada sejak sebelum masa penjajahan Belanda.

“Ada makam Abah Muhaqi, Abah Wahidin, Abah Murah atau Abdurrahman, Bhuju’Sogi, Abh Aluy leluhur Kepala Desa setempat, Abah Syarif dan Abah Soleh,” kata Solihin juru kunci atau bahasa maduranya Jurkonceh.

Setelah Belanda menjajah Indonesia dan menguasaai wilayah itu, warga sekitar tidak diperbolehkan dimakamkan di tempat itu.

“Sekarang, makam itu tidak untuk pemakaman umum,” kata Solihin menutup perbincangan.

Disklaimer

Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan sebagaimana dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap Orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments